Blogger Widgets Cursor 11

Categories

Selasa, 24 Januari 2012

FUNGSI AGAMA SEBAGAI PEREKAT SOSIAL DAN PELEGITIMASI POLITIK

BERITA ACARA DISKUSI
MATA KULIAH SOSIOLOGI AGAMA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN 2011


Tema :

FUNGSI AGAMA SEBAGAI PEREKAT SOSIAL DAN PELEGITIMASI POLITIK
         
Pelaksanaan:
Diskusi dilaksanakan pada:  
Hari dan tanggal   : Selasa, 29 November 2011
Pukul                    : 12.30
Tempat                 : Perpustakaan Ums
Peserta                 : Dodi Nur C
            
Makalah ini dibuat dengan sistem bagi tugas, jadi setiap peserta mencari dan mengumpulkan materi  kemudian menyusun dan mempelajari  makalah  secara bersama. Berikut rincian tugas kami :


Dodi Nur C                  G0000       


         


PEMBAHASAN

A. FUNGSI AGAMA SEBAGAI PEREKAT SOSIAL

Agama dalam hal ini diposisikan sebagai kekuatan penyatu dan kohesi sosial, seperti Comte yang menilai agama berfungsi sebagai perekat yang menyatukan dan menjaga harmoni dalam masyarakat, meski masyarakat menghadapi perubahan sosial dan chaos. Klaim ini sejalan dengan faham fungsional yang memang memiliki validitas, tetapi masih perlu kualifikasi, sebab meski agama ternyata di Indonesia bergerak kearah integrasi negara- agama ternyata secara simultan mengalami disfungsional, sehingga kemudian justru memberikan kontribusi yang kuat bagi timbulnya pengkotakan, yang disitu muncul kelompok tertentu yang menganggap agama tidak memiliki makna selain retorika kosong dari elit politik.[1]

B. AGAMA SEBAGAI PEREKAT

Perbedaan budaya, kultur dan tradisi suatu wilayah dengan wilayah yang lain juga akan menghasilkan karakter yang berbeda. Inilah salah satu kekayaan bangsa kita yang terdiri dari banyak suku yang tersebar di berbagai wilayah. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa berbagai perbedaan tersebut dapat menjadi pemicu munculnya sebuah konflik bila tidak dikelola dengan baik. Salah satu contoh paling dramatis konflik memilukan yang terjadi antara etnis Madura sebagai pendatang versus etnis Dayak di Kalimantan. Terlepas dari siapa salah siapa benar atas meletusnya konflik ini, kedua etnis yang saling bersengketa, khususnya tokoh ulama dan aparat pemerintah harus menjadikannya sebagai pelajaran berharga agar tidak lagi terjadi di masa-masa yang akan datang. Karena peristiwa ini tidak hanya mengakibatkan jatuhnya korban jiwa secara sia-sia, tapi juga meninggalkan penyakit psikis, dendam dan trauma berkepanjangan.
Bila kita menganalisa kasus di atas, maka ada elemen mendasar yang tidak berperan dengan baik di tengah masyarakat, yaitu peran agama yang seharusnya muncul sebagai perekat khususnya bagi komunitas yang berada dalam satu agama dan keyakinan. Padahal kita seharusnya dapat belajar dari sejarah konflik antara suku Aus dan Khazraj sebelum datangnya Islam. Konflik yang terjadi antara kedua suku ini sebenarnya dipicu oleh persoalan sangat sepele, namun akibatnya berlangsung sangat lama bahkan melibatkan beberapa generasi. Namun konflik berkepanjangan itu berakhir dengan sendirinya setelah mereka memeluk Islam dan memiliki pemahaman yang sama bahwa sesungguhnya mereka telah dipersaudarakan oleh satu aqidah dan keyakinan. Sebagaimana firman Allah Taala, “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10) Maka Islam sesungguhnya memiliki daya rekat sangat kuat bila ia dipahami dengan baik oleh pemeluknya. Ia bahkan menghadirkan di tengah kita perasaan cinta pada sesama dan menumbuhkan itsar (mengutamakan saudara daripada diri sendiri).[2]
Mungkin di antara kita ada yang pesimis dan menganggap utopia bila agama dan keyakinan mampu menjadi perekat sebagaimana terjadi pada komunitas suku Aus dan Khazraj di Madinah ketika itu. Masyarakat Indonesia yang sangat majemuk tidak hanya di sekat oleh budaya dan karakter yang berbeda, tapi perbedaan mazhab dan pemahaman terhadap implementasi ajaran Islam (khilafiyah). Bahkan perbedaan pada organisasi dakwah Islam dapat menjadi jurang pemisah dan sumber konflik. Realitas ini dengan sendirinya menjelaskan bahwa, betapa tokoh agama dan ulama kita belum mampu mentransformasikan nilai-nilai Islam ke dalam jiwa umat ini agar menjadi perekat dan pengikat kuat di antara mereka, sehingga dapat toleran dan lapang dada terhadap sesuatu yang tidak disepakati dan bekerja sama pada sesuatu yang disepakati.
Yang lebih ironi lagi adalah ketika sosok yang seharusnya diteladani dan layak tampil sebagai perekat karena posisinya sebagai tokoh agama justru terjebak dalam arus konflik, atau bahkan jadi pemantik munculnya konflik dalam tubuh umat. Tragedi memiriskan hati ini dapat kita saksikan dalam tubuh sejumlah organisasi ke-Islaman atau partai Islam (atau hanya dipimpin oleh tokoh Islam) yang seharusnya tokoh-tokoh yang ada di dalamnya lebih
mampu mengatasi persoalan internal mereka sebelum menggemakan diri sebagai tokoh yang seakan mampu mengatasi persoalan bangsa dan negara yang lebih besar dan kompleks.

C. PENGERTIAN PELEGITIMASI POLITIK

Pelegitimasi politik adalah prinsip yang menunjukkan penerimaan keputusan pemimpin pemerintah dan pejabat oleh (sebagian besar) publik atas dasar bahwa perolehan para pemimpin 'dan pelaksanaan kekuasaan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku pada masyarakat umum dan nilai-nilai politik atau moral. Legitimasi mungkin akan diberikan kepada pemegang kekuasaan dalam berbagai cara dalam masyarakat yang berbeda, biasanya melibatkan ritual formal serius yang bersifat religius atau non-religius, misalnya kelahiran kerajaan dan penobatan di monarki, pemilihan umum dan "sumpah" dalam demokrasi dan seterusnya.[3]
Penguasa biasanya menggunakan lebih sedikit pemaksaan fisik, misalnya melalu aparat, atau militer untuk menegakkan keputusan mereka daripada penguasa kekurangan legitimasi, karena kebanyakan orang cenderung merasa menjunjung tinggi kewajiban moral untuk mematuhi hukum. Akibatnya, orang-orang yang mendapatkan atau memegang kekuasaan dengan cara tidak sah cenderung bekerja sangat keras untuk menemukan atau menciptakan cara-cara agar legitimasi itu diperoleh.
Sering kali hal itu dilakukan oleh politikus dengan menciptakan sebuah ideologi baru atau lainnya dan mencoba untuk mengindoktrinasi orang-orang dengan formula legitimasi melalui berbagai bentuk propaganda, sehingga menciptakan insentif moral bagi warga untuk mematuhi mereka.

D. AGAMA SEBAGAI PELEGITIMASI POLITIK

Mengutip Richard Fenn, bahwa fungsi agama sebagai pelegitimasi tidak hanya dalam hubungan penguasa dan yang dikuasai, melainkan juga persetujuan masyarakat dan institusi yang ada didalamnya. Berbeda dengan  Durkheim yang menaruh moralitas dalam masyarakat sebagai faktor penting, maka Peter Berger menaruh perhatian terhadap fungsi agama sebagai instrumen legitimasi yang menyebar dan efektif dalam menghadapi ketidak pastian maupun konflik. Agama menghubungkan realitas kekinian yang empirik dan tidak absolut dalam masyarakat dengan kebenaran tertinggi. Sehingga Agama dijadikan sebagai alat legitimas publik.
Menanggapi klaim bahwa agama membentuk sistem ketahanan legitimasi masyarakat, bisa dilihat di Indonesia bahwa agama merupakan fenomena episodik, yang muncul tatkala bangsa ini menghadapi krisis, tetapi kemudian surut tatkala keadaan telah kembali normal. Selanjutnya fakta menunjukkan bahwa munculnya agama mirip dengan manuver kontrol sosial oleh elit politik dan bukan gerakan massa yang mencerminkan perjuangan rakyat dalam mencoba mencari instrumen makna bagi kehidupan meraka.
Oleh karena itu yang perlu diwaspadai kemudian adalah ketika agama sekedar dijadikan sebagai instrumen legitimasi yang tidak menggambarkan realitas yang autentik, dan dipakai tidak secara konsisten, melainkan hanya secara episodik sesuai dengan kebutuhan politik elit terutama ketika harus menghadapi krisis. Agama bahkan kemudian dibandang tidak lebih sebagai konstruksi mitos sosial, meski bisa saja terjadi evolusi yang genuine tetapi dalam praktek politik acapkali muncul dalam retorika yang inautentik.[4]

KESIMPULAN
1. Fungsi  Agama sebagai perekat menurut Comte yaitu sebagai perekat yang menyatukan dan menjaga harmoni dalam masyarakat, meski masyarakat menghadapi perubahan sosial dan chaos.
2. Pelegitimasi politik adalah prinsip yang menunjukkan penerimaan keputusan pemimpin pemerintah dan pejabat oleh (sebagian besar) publik atas dasar bahwa perolehan para pemimpin 'dan pelaksanaan kekuasaan telah sesuai dengan prosedur yang berlaku pada masyarakat umum dan nilai-nilai politik atau moral.


DAFTAR PUSTAKA


(Selasa 29 november 2011 ) Pukul: 12.30 WIB.

http:// fungsi agama sebagai perekat sosial.com (Senin 29 November 2011 pukul 13.00)

http://holismad.blogspot.com/2011/03/peng-agama-realitas-sosial.html. ( Senin 29 November 2011 pukul 13.00)

http://fungsi agama sebagai pelegitimasi politik.com (Senin 29 November 2011 pukul 13.00)
















[1] http:// fungsi agama sebagai perekat sosial.com
[2]http://holismad.blogspot.com/2011/03/peng-agama-realitas-sosial.html.  
[4] http://fungsi agama sebagai pelegitimasi politik.com

2 komentar:

  1. tadinya saya pikir analisanya bagus.... Tp sy rasa kok pernah membaca tulisan ini. sy penasaran dan stelah diselidiki ternyata tulisan khususnya tentang "Agama sebagai Perekat" ada di almanar.com. tulisannya sama percis tidk ada 1 hurufpun yg berbeda.
    sy tidak tau siapa sebenarnya yg plagiat. yg jelas sumber itu seharusnya dikutip setelah tulisan itu. jd harus dibedakan antara daftar pustaka dan catatan kaki.

    BalasHapus
  2. Saya justru sebaliknya, sekularisme yang merekatkan masyarakat. Artikel saya dapat dilihat di http://www.anakadam.com/2016/08/sekularisasi-sebagai-semen-sosial/ Terimakasih.

    BalasHapus